Wednesday, April 16, 2008

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

BAB I

A.Pendahuluan

a. Latar Belakang

Dalam era otonomi daerah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan daerah akan sedemikian kuat dan luas sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan dalam menyusun kebijakan dalam bidang lingkungan hidup terutama dalam masalah penanganan penegakan hukum lingkungan dalam era otonomi daerah.

Kewenangan pemerintah Daerah menurut UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sangatlah besar sehingga tuntutan untuk meningkatkan kinerja dan penerapan kebijakan dalam bidang lingkungan hidup sangatlah dibutuhkan.

Sistem Pemerintahan Daerah otonom sebelum UU No 22 tahun 1999 terbagi dalam Sistem Pemerintahan Administratif dan Otonomi[1], dalam Sistem Pemerintahan Administratif Pemerintah Daerah berperan sebagai pembantu dari penyelenggaraan pemerintah pusat yang dikenal sebagai azas dekosentrasi dalam UU No 54 tahun 1970 tentang Pemerintah Daerah, hal ini diaplikasikan dalam Pemerintahan Daerah Tingkat I dan Pemerintahan Daerah tingkat II.

Sedangkan dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Pemerintahan Daerah adalah mandiri dalam menjalankan urusan rumah tanganya. Pemerintahan Daerah memerlukan alat-alat perlengkapannya sendiri sebagai pegawai/pejabat –pejabat daerah dan bukan pegawai/pejabat pusat. Memberikan wewenang untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri berarti pula membiarkan bagi daerah untuk berinisiatif sendiri dan untuk merealisir itu, daerah memerlukan sumber keuangan sendiri dan pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari sumber keuangan sendiri memerlukan pengaturan yang tegas agar di kemudian hari tidak terjadi perselisihan antara pusat dan daerah mengenai hal –hal tersebut diatas.[2]

Tetapi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi perubahan besar dalam kewenangan Pemerintahan Daerah.

Pengelolaan lingkungan hidup sangatlah penting untuk dilihat dalam era otonomi daerah sekarang ini karena lingkungan hidup sudah menjadi isu internasional yang mempengaruhi perekonomian suatu negara.

Pemerintahan Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota atau Kabupaten.

Dalam makalah ini akan dibahas masalah lingkungan hidup di era otonomi daerah dan bagaimana Kewenangan daerah terhadap lingkungan hidup juga akibat kewenangan yang besar tersebut.

b.Pokok Permasalahan

1. Bagaimana Kewenangan Pemerintah Daerah dijalankan dalam bidang lingkungan hidup?

2. Dampak dari Kewenangan tersebut terhadap lingkungan hidup?

c.Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan, adalah “memberikan penjelasan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah serta dampaknya di bidang lingkungan hidup”

Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah memberikan masukan dan informasi yang jelas kepada mahasiswa dan pelajar tentang bagaimana kewenangan dan dampak dari kewenangan yang dijalankan oleh Pemerintahan Daerah di bidang Lingkungan Hidup.

BAB II

B. Pembahasan

1. Pemerintah Kewenangan Pusat dan daerah dalam UU No 22 tahun 1999.

Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu:

(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.[3]

Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar.

2. Penjelasan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan setelah UU No 22 tahun 1999

Untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tim kerja Menko Wasbangpan dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah mencoba merumuskan interpretasi kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.

Secara umum, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi :

· Kewenangan Pusat

· Kewenangan Propinsi

· Kewenangan Kabupaten/Kota.

Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan tentang :

· Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;

· Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;

· Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;

· Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;

· Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;

· Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;

· Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;

· Standarisasi nasional;

· Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.

Kewenangan Propinsi terdiri dari :

· Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;

· Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi dan sebagainya.

· Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di luar kewenangan pusat.

Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari :

· Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;

· Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;

· Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;

· Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi lahan dsb.

· Penegakan hukum lingkungan hidup

· Pengembangan SDM pengelolaan lingkungan hidup.[4]

3. Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah Pusat dalam melakukan kewenangannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus mengikuti kebijakan yang telah diterapkan oleh Menko Wasbangpan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jangan sampai pengurangan kewenangan pemerintah Pusat di bidang lingkungan hidup tidak bisa mencegah kesalahan pengelolaan lingkungan hidup demi mengejar Pemasukan APBD khususnya dalam pos Pendapatan Asli Daerah.

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf, bahwa desentralisasi adalah mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemda dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif. Dalam penerapan desentralisasi itu, menurut Sonny harus tercakup pula pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga dan lestari. Dengan demikian, kendati desentralisasi ala Indonesia tersebut pada awalnya merupakan reaksi politik untuk mempertahankan stabilitas dan integritas teritorial, namun paradigma otonomi demi kesejahteraan masyarakat lokal tetap bisa diwujudkan tanpa merusak kualitas lingkungan hidup setempat.[5]

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sekarang adalah Pemerintahan daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah mereka untuk memenuhi target APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) sehingga jalan termudah untuk memenuhi itu semua adalah mengeksploitasi kembali lingkungan hidup karena cara tersebut adalah cara yang biasa dilakukan pemerintah pusat untuk memenuhi APBN, dan cara ini akan terus dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan baik.

Sehingga jika waktu yang lalu pemusatan eksploitasi lingkungan hidup hanya di daerah-daerah tertentu seperti Daerah Istimewa Aceh, Riau, Irian Jaya/ Papua, Kalimantan dan sebagian Proponsi di Pulau Jawa maka sekarang semua Pemerintah daerah di Indonesia akan mengekspoitasi lingkungan hidup sebesar-besarnya untuk memenuhi target APBD untuk daerah-daerah yang mempunyai sumber kekayaan lingkungan hidup yang besar, sehingga akan dapat terbayang semua daerah kota dan kabupaten di Indonesia akan melakukan eksploitasi lingkungan hidup secara besar-besaran.

Karena desentralisasi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipunyai oleh daerah kota dan kabupaten.

Permasalahan yang timbul adalah antisipasi dari pemerintah pusat sebagai pemegan kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena seperti kita ketahui kewenangan Pemerintah Pusat adalah:

· Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;

· Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;

· Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;

· Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;

· Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;

· Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;

· Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;

· Standarisasi nasional;

· Pelak sanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.

Seperti dijelaskan diatas maka kewenangan pemerintah pusat dalam melaksanakan otonomi daerah sangatlah penting dalam lingkungan hidup. Sehingga jika terjadi berbagai permaslahan yang timbul pemerintahan pusat harus menanganinya secara baik karena pemrintah pusat masih mempunyai kewenangan untuk mengadakan berbagi evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat menjalankan kewenanganya secara proporsional dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup.

BAB III

ANALISA

Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan tidak bisa dijadikan suatu kesempatan untuk mengeksploitasi lingkungan sehingga lingkungan menjadi rusak dan tidak bisa dipergunakan lagi bagi kelangsungan bangsa ini dan hal ini dilakukan hanya untuk mengejar Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah sehingga hanya untuk hal yang jangka pendek investasi jangka panjang dikuras habis.

Jika dilihat Kewenangan Pemerintah Pusat juga besar dalam hal ini sehingga perlu diberdayakan peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan dan juga fungsi dari pemerintah sebagai suatu instansi pengawas jika terjadi pengelolaan lingkungan yang tidak baik pad pemerintah daerah. Dalam hal ini perlu dikaji kembali berbagai kebijakan yang ada pada pemerintah Daerah sehingga tidak ada kebijkan-kebijakan yang berupa peraturan daerah yang merugikan lingkungan dan tidak memperhatikan keadaan masyarakat.

Oppenheim mengatkan dalam Nederlands Gemeenterecht bahwa:

“ Kebebasan bagian-bagin Negara sama sekali tidak boleh berakhir dengan kehancuran hubungan negara. Di dalam pengawasan tertinggi letaknya jaminan, bahwa selalu terdapat keserasian anatara pelaksanaan bebas dari tugas Pemerintah Daerah dan kebebasan pelaksanaan tugas Tugas Negara oleh Penguasa negara itu.[6]

Van Kempen juga menulis dalam “Inleiding tot het Nederlandsch Indisch Gemeenterecht” bahwa otonomi mempunyai arti lain daripada kedaulatan( souvereniteit), yang merupakan atribut dari negara, akan tetapi tidak pernah merupakan atribut dari bagian- bagiannya seperti Gemeente, Provincie dan sebagainya, yang hanya dapat memiliki hak-hak yang berasal dari negara, bagaian-bagaian mana justru sebagai bagian-bagian dapat berdiri sendiri( zelfstandig) akan tetapi tidak mungkin dapat dianggap merdeka( onafhnjelijk), lepas dari, ataupun sejajar dengan negara.[7]

Dapatlah ditambahkan, bahwa pengawasan itu dimaksudkan pula agar daerah selalu melakukan kebijkannya dengan sebaik-baiknya sehingga produk kebijakan berupa peraturan daerah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya.

Hal ini juga memerlukan peran penting dan koordinasi yang baik antara Meteri NegaraLingkungan Hidup denga aparat Pemerintahan Daerah sehinggdapat terjalinnya kerjasama yang baik antara pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan.

Pengawasan oleh Pemerintah Pusat dapat dibenarkan untuk membangun negara Indonesia karena Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Negara dan Daerah.

Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah termasuk juga Keputusan-keputusan Kepala Daerah terutama Peraturan-peraturan Daerah yang ada dapat diawasi, jika menilik sifatnya bentuk pengawasan bisa dibagi dalam:

1. Pengawasan preventif

2. Pengawasan represif

3. Pengawasan umum

Dan pemerintah Pusat juga harus diawasi oleh lembaga negara yang lain terutama lembaga perwakilan yang fungsinya berupa pengawasan, karena Pemrintah Pusat juga mempunyai kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan lingkungan sangatlah besar sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan tersebut.

Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang jelas dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menko Wasbangpan.

Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga janagn sampai terjadi berbagai kebijakan yang merusak lingkungan yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah



[1] M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti , 1988,h.256

[2] op.cit, h. 257

[3] UU NO 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

[4] http://www.bapedal.go.id/media/serasi/00okt/lu1.html

[5] op.cit, h2

[6] Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983

[7] op.cit, h. 10

Monday, March 31, 2008

URGENSI AMANDEMEN UUD 1945 (Jurnal)

URGENSI PERUBAHAN UUD 1945

I. Pendahuluan

Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 merupakan sebuah dorongan dari gerakan reformasi. Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. UUD 1945 sebelum perubahan merupakan sebuah UUD yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.[1]

Dalam suasana politik dan hukum bernegara ada beberapa praktek yang dilakukan oleh negara dan pemerintah yang tidak sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Praktek-praktek yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 antara lain, sebagai berikut:

  1. Tidak adanya mekanisme checks and balances yang baik antara lembaga negara dan kekuasaan yang terpusat pada Presiden.
  2. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berkekspresi sehingga tidak dapat berfungis sebagaimana mestinya.
  3. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
  4. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli dan monopsoni.[2]

Praktek bernegara yang berjalan selama 32 tahun menjadi suatu praktek bernegara yang dipaksakan oleh pihak pemerintah (eksekutif) kepada seluruh pihak legislative dan yudikatif tanpa koreksi. Seharusnya praktek bernegara yang dipraktekkan atas kesepakatan bersama dan didasari atas pemikiran yang demokratis sehingga checks and balances dapat berjalan dengan baik.

Perkembangan pemikiran rasional atas ide bernegara yang semakin dinamis disertai berbagai pemikiran yang secara mendunia diterima seperti ide-ide demokrasi, hak azasi manusia dan checks and balances antar lembaga Negara menjadikan sebuah hukum dasar /konstitusi menjadi penting untuk berubah. Menurut Hegel ”The constitution is rational (vernuenftig) inasmuch as the state differentiates its operation (Wirksamkeit) according to the nature of the concept and likewise determines it. This works as follows; each of the powers is a totality in itself, because it contains the other powers (momente) as effective in itself, yet at the same time they remain part of the state’s ideal form by expressing differences of its concept and still constitute only one ideal whole”[3] Konstitusi yang baik tidak hanya didasarkan atas kemauan penguasa, akan tetapi didasari atas pemikiran yang rasional dan ideal tentang sebuah tujuan Negara dan disepakati oleh semua masyarakat.

Perkembangan sistem ketatanegaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia setelah diadakan perubahan tahun 1999 telah berjalan hampir 8 tahun. Perubahan UUD bertujuan untuk menata kembali kehidupan bernegara yang selama 32 tahun dianggap tidak berjalan dengan baik walaupun selama 32 tahun tersebut dikenal jargon bahwa pemerintahan “menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”.

Perubahan UUD 1945 ditahun 2002, akhirnya menghasilkan 5 Naskah UUD 1945, yaitu : UUD 1945, Perubahan I UUD 1945, Perubahan II UUD 1945, Perubahan III UUD 1945 dan Perubahan IV UUD 1945.[4]

Pada proses pembahasan perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR RI, maka Panitia Ad Hoc I menyusun berbagai kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:

  1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Mempertegas sistem pemerintah presidensiil
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD 1945 harus dimasukkan kedalam pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh UUD 1945.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara ”adendum”.[5]

II. Kelemahan Amandemen UUD 1945

1. Perubahan UUD 1945

Tujuan Perubahan UUD 1945

  1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 itu yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
  3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
  4. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan transparan, pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
  5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan.
  6. Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara dan perjuangan negara untuk mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum
  7. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasi ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.[6]

Perubahan UUD 1945 telah banyak memberikan dinamika ketatanegaraan Republik ini. Masyarakat Indonesia setidak-tidaknya bisa bersuara dari berbagai lembaga negara dan sistem bernegara yang diperkenalkan oleh Perubahan tersebut, diantaranya: Penegasan fungsi badan legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta diperkenalkan sistem checks and balances yang lebih baik daripada UUD 1945 awal. Pada Perubahan UUD ini juga diperkenalkan lembaga-lembaga negara baru dan mekanisme baru, yaitu: Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah dan yang paling penting adalah Pemilihan Umum langsung.

Lembaga-lembaga yang baru dalam UUD 1945 telah memperlihatkan struktur pemisahan kekuasaan yang lebih baik daripada UUD 1945 sebelum perubahan. Pemisahan kekuasaan diperlihatkan dari 7 organ utama pelaksana kedaulatan rakyat: 1. Presiden sebagai pelaksana eksekutif, 2. DPR sebagai pelaksana kekuasaan legislatif, 3. MPR sebagai pelaksanan kekuasaan legislatif, 4. DPD sebagai pelaksana kekuasaan legislatif, 5. Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif, 6. Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif, 7. BPK sebagai pelaksana kekuasaan legislatif (salah satu fungsi legislatif adalah mengawasi kekuasaan eksekutif).

Mekanisme pemilihan umum yang baru yang diperkenalkan dalam UUD 1945 adalah: 1. Pemilihan Umum secara langsung untuk Pemilihan Presiden, 2. Pemilihan Umum untuk memilih wakil rakyat baik DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan memilih tanda gambar partai politik dan nama wakil rakyat. 3. Mekanisme pemilihan secara langsung anggota DPD.

Dilihat dari substansi UUD 1945 maka UUD 1945 telah memenuhi kriteria sebagai sebagi sebuah konstitusi, seperti yang diungkapkan oleh menurut Wheare. KC Wheare memperkenalkan definisi konstitusi sebagai:The whole system of government of a country, the collection of rules which establish and regulate or govern the government (1996, 1)[7]. Walaupun dalam perkembangan pengertian konstitusi kita dapat mengambil pula definisi dari Paine. Definisi ini merupakan definisi yang lebih tua dari definisi Wheare. akan tetapi lebih lengkap:

“ A constitution is not the act of government, but of people constituting a government, and a government without constitution is power without right…. A constitution is a thing antecedent to a government; and a government is only the creature of a constituition (1792, Pt II, p.93)[8]

Pada perjalanan UUD 1945 setelah diadakan perubahan maka terlihat berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dalam materi UUD 1945. Sidang Tahunan MPR tahun 2002 telah berakhir, sidang yang memakan biaya lebih dari 20 milyar ini akhirnya menuntaskan tahapan akhir dari seluruh rangkaian proses Amandemen UUD 1945. Tahapan itu menuntaskan beberapa materi penting antara lain tentang struktur dan komposisi MPR, Pemilihan Presiden langsung, peranan negara dan agama pada Pasal 29, otoritas moneter, Pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Dan aturan peralihan yang salah satunya akan mengatur soal pemberlakuan hasil amandemen itu sendiri.

Rangkaian proses amandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah empat kali menyelesaikan Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999. Proses amandemen itu jumlah pasal memang tetap 37 tetapi 10 pasal memiliki cabang ( 6A, 7A, 7B, 7C, 18 A, 18 B, 20 A, 22 A, 22B, 22 C, 22 D, 22E, 23 A, 23 B, 23 C, 23 D, 24 A, 24 B, 24 C, 25 A, 28 A, 28 B, 28 C, 28 D, 28 F, 28 G, 28 H, 28 I, 28 J, 36 S, 36 B, 36 C) sebagaimana juga babnya tetap terdiri 16 Bab tetapi juga mempunyai cabang (VII A, VII B, VIII A, IX A, X A) dan penambahan sejumlah ayat baru. UUD 1945 sebelumnya terdiri 37 Pasal, 16 Bab, 65 Ayat, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan. Maka bandingkan dengan amandemen UUD 1945 satu hingga empat yang terdiri dari 37 Pasal (72 Pasal jika berikut cabang), 16 Bab (21 Bab jika berikut cabang), 191 Ayat, 3 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan tambahan. Maka total amandemen 1- 4 UUD 1945 menghasilkan 196 Ayat, yang terdiri 166 butir perubahan dan 30 butir tidak berubah. Dalam perubahan ini Ramlan Surbakti mengatakan perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 dalam prakteknya bukan amandemen biasa, karena mencakup pasal yang begitu banyak tetapi juga bukan pembuatan UUD baru karena baik pembukaan maupun banyak pasal yang tetap. (Disampaikan pada Seminar Nasional FH.Usakti 15 Agustus 2002). [9]

Amandemen pertama yang dimulai pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan perubahan terhadap 9 Pasal yang meliputi Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2 dan 3), Pasal 20, dan Pasal 21. sedangkan Amandemen kedua telah melakukan perubah sebanyak 7 Bab dan 25 Pasal yang yang meliputi Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20 A, Pasal 22 A, Pasal 22 B, BAB IX A, Pasal 25 E, BaB X, Pasal 26 Ayat (2 dan 3), Pasal 27 Ayat (3), BAB XA, Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal 28 E, Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J, BAB XII, Pasal 30, BAB XV, Pasal 36 A, Pasal 36 B, dan Pasal 36 C. Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen ketiga yang meliputi Pasal 1 Ayat (1,2,3, dan 5), Pasal 7 A, Pasal 7 B Ayat (1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7), Pasal 7 C, Pasal 8 Ayat (1, 2), Pasal 11 Ayat (2, 3), Pasal 17 Ayat (4), BAB VII A, Pasal 22 C Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 22 D Ayat (1, 2, 3, dan 4), BAB VII B, Pasal 22 E Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6), Pasal 23 Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 A, Pasal 23 C, BAB VIII A, Pasal 23 E Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 F Ayat (1 dan 2), Pasal 23 G Ayat (1 dan 2), Pasal 24 Ayat (1 dan 2), Pasal 24 A Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 24 B Ayat (1, 2, 3, dan 4), dan Pasal 24 C Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6).[10]

Sedang proses Amandemen ke–4 ini mengubah dan menetapkan antara lain, perubahan penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (4) perubahan ketiga UUD 1945 menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan Ayat (3). Pasal 25 E perubahan kedua UUD 1945 menjadi Pasal 25 A. Kemudian menghapus judul BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan mengubah substansi Pasal 16 serta menempatkannya ke dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dan selanjutnya merubah dan/ atau menambah Pasal 2 Ayat (1), Pasal 6 A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1), Pasal 16, Pasal 23 B, Pasal 23 D, Pasal 24 Ayat (3), Pasal 29 Ayat (1) dan (2), BAB XIII, Pasal 31 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 32 Ayat (1 dan 2), BAB XIV, Pasal 33 Ayat (4 dan 5), Pasal 34 Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 37 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan Pasal Idan II Undang-Undang Dasar 1945.[11]

Perkembangan selanjutnya adalah kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas lembaga negara menjadi dinamis dan dilingkupi oleh suasana konstitusi yang sangat kental. Akselerasi Perkembangan ketatanegaraan semakin meningkat dengan adanya berbagai permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi yang berakibat semakin dekatnya masyarakat terutama kaum elit negara ini terhadap pentingnya pengaturan norma-norma dasar dalam konstitusi. Hal ini, sejalan dengan cita-cita dan keinginan pembuat UUD agar UUD 1945 dianggap sebagai aturan tertinggi diantara peraturan-peraturan yang lain (Presupposing the basic norm, the constitution is the highest level within national law)[12]

Untuk menguraikan berbagai kelemahan yang terjadi dalam proses dan materi perubahan UUD 1945 maka harus dilihat dari dua sudut pandang yaitu dari segi proses dan substansi. Kelemahan baik dari segi proses dan substansi merupakan sebuah evaluasi dalam persiapan pembuatan ataupun perubahan UUD, sehingga dapat diambil suatu masukan dalam membentuk Perubahan kelima yang akan datang

2. Kelemahan Amandemen dari segi proses:

  1. Tidak membuat kerangka dasar perubahan dan content draft

MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft yang didasari paradigma yang jelas yang menjadi kerangka (overview) tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas dan mendalam mengenai hubungan negara dengan warga negara, negara dan agama, negara dengan negara hukum, negara dalam pluralitasnya, serta negara dengan sejarahnya . Juga eksposisi yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syaratnya dan prinsip-prinsipnya serta check and balancesnya bagaimana dilakukan secara mendalam. Nilai/ values merupakan kerangka dasar yang harus dinyatakan dalam setiap kosntitusi sebuah negara, sehingga negara yang berdiri atas nilai-nilai ideal yang diperjuangkan akan terlihat Sebuah pernyataan dari Brian Thompson akan sangat baik jika harus melihat sebuah nilai dalam kerangka dasar konstitusi ”A constitution can express the values which its framers have for their country. These values may be seen in the type of governmental institutions which are created, and in the declaration of rights of the citizens. Values will be found particularly in preamble”. [13]

  1. Amandemen yang parsial dan tambal sulam

MPR lebih menekankan perubahan itu dilakukan secara adendum, dengan memakai kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini membuat perubahan itu menjadi parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam saja sifatnya. MPR tidak berani keluar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relevansinya sudah tidak layak lagi dipertahankan. Proses Amandemen secara parsial seperti diatas tidak dapat memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk. Sehingga terlihat adanya paradoks dan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya yang telah diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang secara redaksional maupun sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya, penetapan prinsip sistem Presidensial namun dalam elaborasi pasal-pasalnya menunjukkan sistem Parlementer yang memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR.

  1. Adanya bias kepentingan politik

MPR yang dikarenakan keanggotaannya terdiri dari fraksi-fraksi politik menyebabkan dalam setiap pembahasan dan keputusan amat kental diwarnai oleh kepentingan politik masing-masing. Fraksi-fraksi politik yang ada lebih mengedepankan kepentingan dan selera politiknya dibandingkan kepentingan bangsa yang lebih luas. Hal ini dapat dilihat dari pengambilan keputusan final mengenai Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh sekelompok kecil elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus tanpa adanya risalah rapat.

  1. Partisipasi Semu

Sekalipun dalam mempersiapkan materi perubahan yang akan diputuskan MPR melalui Badan Pekerjanya, melibatkan partisipasi publik baik kalangan Profesi, ornop, Perguruan Tinggi, termasuk para pakar/ahli. Namun partisipasi tersebut menjadi semu sifatnya dan hanya melegitimasi kerja MPR saja. Dalam kerja BP MPR ini rakyat tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan dan turut menentukan apa yang diinginkan untuk diatur dalam konstitusinya, MPR jugalah menentukan materi apa yang boleh dan tidak boleh.

MPR hanya membatasi pada materi-materi yang belum diputuskan dan dalam penyerapannya yang tidak mencakup seluruh wilayah. Pembatasan itu jelas akan memperpanjang inkonsistensi nilai dan sistematika yang ada. Jelas hal ini merupakan bagian dari pemenjaraan secara politis untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan fraksi yang ada di MPR. Sedangkan dalam penyerapan dan sosialisasi (uji sahih), BP MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi kepentingannya. Termasuk dalam proses amandemen yang keempat, MPR tidak melakukannya secara intensif dan luas kepada seluruh lapisan masyarakat diseluruh wilayah Indonesia.

Alasan keterbatasan dana yang dikemukakan oleh MPR RI sebagai alasan untuk membatasi uji sahih, kami anggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab. Apalagi tampak bahwa pihak MPR tidak pernah mengeluh kekurangan dana apabila akan melakukan sosialisasi atau studi banding ke keluar negeri yang telah memakan biaya besar pada tahun-tahun sebelumnya.

Substansi yang disosialisasikan pada proses uji sahih ini juga dibatasi pada materi yang belum diputuskan dan beberapa materi yang tidak dapat dirubah. Publik tidak akan dapat memberikan penilaian terhadap substansi Amandemen pertama sampai keempat yang telah dilakukan oleh MPR selama ini. Menurut hemat kami ini merupakan indikasi pengingkaran MPR terhadap prinsip kedaulatan rakyat. MPR telah bertindak diatas konstitusi yang semestinya adalah milik semua rakyat untuk dapat mengusulkan dan menentukan.

  1. Tidak intensif dan maksimal

Dalam proses itu ada keterbatasan waktuyang dimiliki oleh anggota MPR , terutama anggota Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi Amandemen UUD 1945 karena merangkap jabatan sebagai anggota DPR RI dengan beban pekerjaan yang cukup banyak. Terlebih lagi, sebagai parpol di DPR, anggota–anggota ini diharuskan untuk ikut berbagai rapat/pertemuan yang diadakan oleh DPR atau partainya sehingga makin mengurangi waktu dan tenaga yang tersedia untuk dapat mengolah materi Amandemen UUD 1945 sekaligus melakukan konsultasi publik secara lebih efektif. Akibatnya kualitas materi yang dihasilkan tidak memuaskan. Padahal, konstitusi adalah suatu Kontrak Sosialanatra rakyat dan negara sehingga proses perubahannya seharusnya melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.

3. Kelemahan dari segi substansi

Perubahan yang tercermin dalam Perubahan UUD 1945 berlangsung cepat dan dalam skala yang sangat luas dan mendasar. Perubahan UUD 1945 dari naskahnya yang asli sebagai warisan zaman proklamasi tahun 1945 yang hanya berisi 71 butir kaedah dasar, sekarang dalam waktu empat kali perubahan, telah berisi 199 butir kaedah hukum dasar. Perubahan-perubahan substantif itu menyangkut konsepsi yang sangat mendasar dan sangat luas jangkauannya, serta dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu secara bertahap selama empat kali dan empat tahun. [14]

Dalam waktu yang sangat singkat, Perubahan UUD 1945 dilakukan sehingga sampai saat ini ada berbagai kelemahan yang menghinggapi UUD 1945. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah:

  1. Tidak adanya paradigma yang jelas.

Model rancangan perubahan UUD 1945 yang ada sekarang, dimana semua alternatif perubahan dimasukkan dalam satu rancangan, membuka peluang lebar bagi tidak adanya paradigma, kurang detailnya konstruksi nilai dan bangunan ketatanegaraan yang hendak dibentuk dan dianut dengan perubahan tersebut. Persoalan nilai yang hendak dibangun secara prinsip telah ada dalam Pembukaan UUD 1945, hal itu juga merupakan sebab untuk tidak dirubahnya Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai yang secara prinsip tersebut tidak diatur dengan jelas pada batang tubuh UUD 1945. Persoalan seperti nilai/value pembangunan ekonomi yang hendak dibangun pada UUD 1945 setelah perubahan. Apakah yang dimaksud dengan azas kekeluargaan tidak pernah jelas dikemukakan oleh negara. Bagaimanakah cara dan proses menjalankan azas kekeluargaan dalam sistem perekonomian juga menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah diselesaikan oleh negara. Hal-hal tersebut

  1. Inkonsistensi rumusan.

MPR dalam melakukan amandemen UUD 1945, banyak menghasilkan rumusan-rumusan yang paradoks dan inkonsistensi. Keberadaan MPR dalam posisinya sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legislatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasaan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi superbody yang tidak dapat dikontrol.

  1. Tidak Sistematis

MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana yang telah dibahas pada prosesnya, tidak mau atau tidak berani keluar dari kerangka dengan mendekonstruksikan prinsip dan nilai UUD 1945 yang relevansinya saat ini sudah layak dipertanyakan. MPR tidak mendasarinya dengan ide-ide konstitusionalisme, yang esensinya merupakan spirit/jiwa bagi adanya pengakuan Hak Azasi Manusia dan lembaga-lembaga negara yang dibentuk untuk melindungi HAM dibatasi oleh hukum.

III. Kesimpulan

Ada 5 hal yang setidak-tidaknya menjadi prioritas dalam Amandemen Ke V UUD 1945. Prioritas tersebut antara lain, yaitu:

1. Sistem Perwakilan Rakyat

Dengan Perubahan keempat UUD 1945, MPR hanya merupakan gabungan antara anggota DPR dan DPD. Kewenangan MPR sekarang tinggal empat hal, yaitu mengubah dan menetapkan UUD, malantik Presiden dan wakilnya, memberhentikan Presiden dan atau wakilnya dalam masa jabatannya, dan terakhir memilih Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan Wakil Presiden pada masa jabatannya. Dalam sistem perwakilan rakyat pada Amandemen UUD 1945 banyak yang harus menjadi catatan, yaitu sebagai berikut :

  1. MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakannya sebagai suatu lembaga ”supra”, bahkan diatas konstitusi, karena masih berwenang melakukan perubahan terhadap UUD 1945, dan menentukan keputusan impeachment terhadap presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi serta wewenang untuk melakukan Judicial Review. Sifat supra dari MPR menunjukkan bahwa ada karakteristik sistem Parlementer yang masih kuat dalam sistem ketatanegaraan sehingga terjadi kerancuan dalam bernegara karena disatu pihak Presiden melaksanakan Sistem Presidensiil sedangkan DPR/MPR seringkali menginterprestasikan kinerjanya berdasarkan Sistem Parlementer. Tidak terjadi sistem checks and Balances atau akuntabilitas horizontal yang jelas antara lembaga negara. Seharusnya MPR setelah adanya DPD bukan lagi merupakan sebuah lembaga karena sudah ada DPR dan DPD yang melakukan tugas dan fungsinya kalaupun masih ada MPR hanya sebagai sebuah (joint session) lembaga pertemuan yang dibentuk jika DPR dan DPD ingin melakukan sebuah perubahan UUD.
  2. Sistem parlemen yang terjadi adalah sistem parlemen yang soft bicameralism, sehingga tidak terjadi mekanisme bikameral yang baik antara Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat yang pra amandemen mempunyai kewenangan yang tidak begitu kuat setelah amandemen berbalik menjadi sebuah lembaga yang mempunyai kekuatan yang sangat besar, bahkan melebihi ”saudara barunya/DPD”. Sehingga pada saat ini terlihat kekuasaan yang begitu besar yang dipunyai oleh DPR. DPD tidak menampakkan prestasi yang baik sampai saat ini, hal ini dapat dilihat dari hampir tidak ada RUU yang diajukan oleh DPD pada permasalahan otonomi daerah. Dari hal inipun tidak jelas mekanisme checks and balances yang dipunyai oleh DPR Dan DPD dalam kerangka kekuasaan legislasi.

2. Sistem Mekanisme Check and Balances antar lembaga negara

Amandemen I-IV UUD 1945 telah menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku, meliputi jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan, dan sistem perwakilannya. Pada sisi lain, paradigma perubahan UUD mencoba diletakkan dalam kerangka checks and balances sehingga memungkinkan terjadinya saling kontrol antara satu cabang kekuasaan dan cabang kekuasaan yang lain. Implikasi dari penerapan sistem checks and balances tersebut akan berpotensi menimbulkan berbagai macam sengketa, salah satunya adalah sengketa kewenangan antar lembaga negara.[15]

Mekanisme checks and balances yang timpang pada lembaga negara mengakibatkan beberpa lembaga negara mengeluarkan beberapa putusan kontroversial terutama pada kekuasaan kehakiman. Hal ini dapat kita lihat pada MK yang pada tanggal 12 April 2005 Mahkamah Konstitusi mengejutkan kita dengan menguji Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 (“UUMK”) yang tidak lain adalah undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi (“MK”) sendiri. Dalam pengujiannya terhadap UUMK tersebut, MK membatalkan Pasal 50 dari UUMK yang melarang MK untuk menguji undang-undang yang dibuat setelah adanya perubahan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan dibatalkannya Pasal 50 UUMK, kini MK memiliki wewenang untuk menguji seluruh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, tanpa batasan waktu.

MK pun pada UU KPK menyatakan bahwa Pengadilan TIPIKOR bertentangan dengan konstitusi karena diatur dalam UU KPK tidak oleh UU tersendiri. Dan ultra petita diulang kembali pada putusan 3 tahun diberi waktu untuk membuat UU pengadilan TIPIKOR tersendiri. kekuasaan MK yang demikian luas harus dibatasi – tidak ada jalan lain-- lewat Undang-Undang Dasar. UUD harus dirubah sehingga mendefinisikan dengan jelas rationne temporis (keberlakuan waktu) dan rationne materiae (meteri pengujian) yang masuk dalam kewenangan MK. Hal ini penting karena jika tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori lembaga yang hampir memiliki absolute power. Lord Acton pernah mengatakan, power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely.

Apabila akhirnya kewengan rationne temporis MK dibatasi oleh UUD untuk dapat menguji UU yang diberlakukan pasca Perubahan UUD 1945 maka akan timbul pertanyaan lain: bagaimana halnya dengan putusan-putusan MK yang terlanjur menguji produk UU sebelum Perubahan UUD 1945?.[16] Perlulah kiranya kita membuat mekanisme checks and balances yang jelas antar lembaga Negara terutama lembaga yang mempunyai kekuasaan kehakiman.

3. Hak Azasi Manusia

Amandemen UUD 1945 dalam hal Hak Azasi Manusia menempatkan Amandemen Kedua UUD 1945 adalah hal yang paling signifikan dalam mengatur Hak Azasi Manusia. Di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia ini terdapat sebanyak 10 pasal 24 ayat yang mengatur prinsip-prinsip penting tentang nilai dan prinsip kemanusiaan. Di satu sisi, mungkin sulit untuk menyangkal bahwa perumusan begitu banyak merupakan indikasi adanya komitmen di sebagian anggota majelis untuk mempromosikan dan menjamin pelaksanaan penegakan hak asasi. Namun demikian, ada beberapa masalah yang perlu diajukan karena masalah tersebut potensial mengingkari pelaksanaan penegakan hak asasi secara konsisten dan menempatkan pasal-pasal hak asasi di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia hanya menjadi sebuah prinsip yang tidak mempunyai daya enforcement.

4. Mekanisme Pemberian Sanksi Jika Isi UUD 1945 Tidak Dilaksanakan.

Tidak adanya batasan yang jelas bagaimana jika pemerintah/eksekutif, parlemen/legislatif dan peradilan/yudikatif melanggar isi UUD 1945. Yang diatur hanyalah jika Presiden melanggar UUD 1945, akan tetapi hal tersebut tergantung pada kekuasaan lain. Hal ini tidak menjadi permasalahan jika mekanisme checks and balances berjalan dengan baik. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Anggaran Pendidikan yang mengharuskan pemerintah tetap menjalankan anggaran pendidikan sebesar 20 % diabaikan oleh pemerintah maupun DPR. Hal ini, jika dibiarkan terus menerus akan menimbulkan preseden yang sangat buruk bagi sebuah negara hukum. Pelanggaran serius yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kekuasaan negara tidak tersentuh, walaupun kontrol masyarakat berupa judicial review telah dilakukan.

5. Mekanisme Perubahan

Sebagai kontrak sosial sebuah UUD harus jelas mekanisme perubahannya, dan diberikan waktu yang cukup untuk merubah dan merevisi UUD. Harus difikirkan untuk membentuk sebuah badan yang seperti Komisi Konstitusi dan mempunyai waktu dan wewenang yang cukup untuk merubah UUD secara menyeluruh ataupun mensinkronisasi UUD sehingga baik secara proses maupun substansi. Jika pembentukan Komisi Konstitusi kembali diserahkan kepada BP MPR atau minimal melalui kewenangan Badan Pekerja MPR ditakutkan kelemahan- kelemahan yang terjadi pada amandemen atu hingga empat akan kembali menyesatkan. Sebagaimana yang dikemukakan professor politik dari Colombia University, Jon Elster : “Menugaskan (reformasi konstitusi) terhadap sebuah lembaga yang juga berperan sebagai badan legislatif, sama saja seperti menugaskannya untuk berperan sebagai hakim dalam kasus yang menimpa dirinya sendiri”. Apa yang akan terjadi di Indonesia, kasus di Bulgaria bisa menjadi cermin dalam hal ini. Proses penyusunan konstitusi baru yang yang dilakukan oleh Parlemen- yang dimulai tidak lama setelah rezim komunis jatuh tahun 1989 dan selesai tahun 1991- ternyata menghasilkan konstitusi yang memberikan kewenangan yang berlebihan pada dirinya sendiri. Akhirnya konstitusi baru Bulgaria yang diharapkan menjadi faktor terjadinya proses demokratisasi, malah sering menjadi faktor ketidak menentuan politik di negara itu[17]

Jakarta, 05 Juni 2007

Rahmat Bagja

KaDiv. Konstitusi KRHN

Tulisan dikutip dan banyak diambil dari intisari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)



[1] MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, 2003., h. 7.

[2]ibid, h.14.

[3] C.J. Friedrich, The Philosophy of Hegel, The Modern Library, New York, h. 292

[4] Pidato Keynote Speaker Ketua Mahkamah Konstitusi, pada pembukaan acara Bedah Buku “ The New Indonesian Constitutional Court, A Study into its beginnings and first years of work”by Petra Stockman, Hotel Nikko, Jakarta

[5] MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, 2003., h.25.

[6] MPR RI, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, 2003., h.15

[7] Hilaire Barnett, Constitutional and Administrative Law, Cavendish Publishing, 2004, h.7

[8] Ibid, h.7

[9] Penelitian KRHN, Kritik Terhadap Perubahan I-IV UUD 1945,

[10] ibid

[11] ibid

[12] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, h.124

[13] Brian Thompson, Constitutional and Administrative Law, Blackstone Press Limited, 1997, h.15

[14] Jimly Ashhdiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 348

[15] Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Cet.1, Jakarta. 2005, h. 114.

[16] M. Mova Al Afghani dan Rahmat Bagja, Ketika Mahkamah Konstitusi Menjadi Superbody, www.theceli.com

[17] Penelitian KRHN