Friday, June 22, 2007

RESENSI BUKU

RESENSI BUKU
Judul : Pembaharuan Kejaksaan: Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa
Pengarang dan Penerbit: KHN dan MAPPI FHUI bekerjasama dengan The Asia Foundation.
Tebal : 202 halaman

Pada pertengahan bulan Februari sampai dengan akhir bulan Februari, isu tentang Kejaksaan sangat ramai dibicarakan apalagi tentang Jaksa Agung dan DPR, bahkan isu ini menjadi isu nasional. Wacana ini sangat menyedot perhatian masyarakat, dengan perkataan “Ustadz di Kampung Maling” masyarakat akan segera tahu, hal apakah yang dimaksud.
Para anggota parlemen khususnya anggota Komisi II yang melontarkan perkataan seperti itu, kemungkinan besar perkataan tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus korupsi anggota DPRD yang notabene adalah kader partai, walaupun para anggota menyangkalnya dengan alasan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan tidak adil. Sehingga tidak salah jika kejaksaan sebagai sebuah institusi Penegak Hukum menjadi sangat penting untuk dilihat pada saat ini karena Kejaksaan inilah yang merupakan Pembela Negara, bersama dengan POLRI dan Mahkamah Agung,
Dalam kerangka kenegaraan kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan ditegaskan pula kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya, dalam wacana yang berkembang di DPR bahwa kejaksaan tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan adil hal ini bisa menimbulkan dua kemungkinan bahwa:
Wacana yang berkembang tersebut benar
Wacana yang berkembang tersebut salah.
Sehingga kalau wacana tersebut benar maka hal apakah yang menjadi penyebab ketidakadilan tersebut, hal ini bisa dilihat dari 2 segi yang saling berkaitan :
1. Sistem dan
2. Sumber Daya Manusia.
Dan 2 hal tersebut menjadi wacana yang diangkat dalam buku yang berjudul “Pembaharuan Kejaksaaan: Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa” yang disusun oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI bersama dengan Kejaksaan Agung RI. Buku ini adalah hasil penelitian berupa telaah dan rekomendasi yang merupakan usaha untuk memperbaiki Standar Minimum Profesi Jaksa.
Buku ini merupakan produk dari suatu penelitian yang memakai metode penelitian normatif dan empiris, sehingga pembuat buku ini menyatakan bahwa buku ini merupakan rekomendasi yang konkrit dan implementatif, dengan harapan dapat berguna sebagai “produk siap pakai”,
Buku ini sangat baik dalam menerangkan deskripsi tentang Profesi Hukum dan Kode Etik Profesi Hukum hal ini dapat dilihat dari BAB II, sehingga jika dilihat dari kriteria dan teori maka Jaksa dapat disebut sebagai sebuah profesi hukum. Dan sebagai sebuah profesi hukum kualitas dan integritas, jaksa saat ini disorot secara tajam oleh masyarakat.
Di bab selanjutnya dijelaskan tentang profesi Jaksa di berbagai negara di luar Indonesia, yang diambil contoh dalam penelitian ini adalah Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Dalam pemaparan bab ini dijelaskan mengenai kejaksaan Di Amerika Serikat yang mempunyai aturan rekrutmen yang baik dan Standar Profesi Jaksa yang lengkap dan aplikatif, sedangkan di Inggris kejaksaan baru ada setelah The Prosecution of Offencews Act tahun 1985 lahir, sebelum itu fungsi kejaksaan/penuntutan dilaksanakan oleh Polisi. Kejaksaan di Inggris harus menaati dua kode etik : 1. Civil Cervice Code dan, 2. Code for Crown Prosecuter. Sedangkan Standar Minimum Profesi Jaksa dideskripsikan secara garis besar saja terutama dalam masalah rekruitmen.
Di Belanda kejaksaan secara fungsi dan tugasnya hampir sama dengan kejaksaan yang ada di Indonesia, dan Standar Minimum Profesinya pun hampir sama dengan Indonesia baik dari segi pelatihan maupun rekruitmen.
Yang menjadi kekurangan mendasar dari buku ini adalah pemaparan bab ini yang tidak menggambarkan dua sub terakhir, yaitu Inggris dan Belanda, dan satu hal lagi yang terlupa adalah perbandinggannya bagaimana?, apakah yang dibandingkan?, kekurangan dan kelebihan masing-masing negara? Hal inilah yang tidak dijelaskan dalam buku ini.
Bab IV dijelaskan tentang profesi jaksa yang berada di Indonesia, Standar Moral Etika bagi seorang Jaksa di Indonesia tertuang dalam Tata Krama Adhyaksa yang dijadikan kode etik bagi seorang jaksa. Selain itu ada pula doktrin bagi warga kejaksaan , khususnya jaksa. Baik doktrin maupun Tata Krama Adhyaksa tidaka akan terlepas dari ciri hakiki kejaksaan yang menjadi landasan keduanya. Ciri hakiki kejaksaan adalah tunggal, mandiri dan mumpuni. Ciri ini yang menjadi pangkal terbentuknya doktrin kejaksaan. Dijelaskan pula tentang bagaimana sistem rekruitmen, pendidikan dan pelatihan yang ada di kejaksaan. Sebenarnya untuk Standar Minimum Profesi Jaksa telah ada pedoman umum yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Guidelines on the Role of Prosecutors yang menjadi dasar Standards of Profesional Responsibility and Statement of the Essential Duties and Rights of Prosecutors. Akan tetapi hal ini tidak bisa dilaksanakan oleh Indonesia karena berbagai permasalahan yang ada.
Dalam Bab V direkomendasikan berbagai hal yang yang berkaitan dengan Standar Minimum Profesi Jaksa, yang direkomendasikan terdiri Materi dan Faktor-faktor pembentuk, dalam materi yang direkomendasikan adalah peningkatan pengetahuan, keahlian dan Perilaku sedangkan dalam Faktor-faktor pembentuk adalah perbaikan sistem jabatan fungsional jaksa, rekruitmen, PPJ dan magang, penempatan/formasi dan pembinaan profesi juga penegakan disiplin pengawasan. Hal-hal tesebut diatas telah menjawab permasalahan Standar Minimum Profesi Jaksa, sehingga Bab Penutup dari buku ini adalah kesimpulan dan rekomendasi yang bersifat umum, dan detailnya ada di Bab V.
Buku ini telah menjawab permasalahan dan juga telah memenuhi tujuan dari pembuatan buku/ penelitian sehingga buku ini seperti yang telah dikatakan pembuatnya merupakan “rekomendasi yang konkrit dan implementatif”, dengan harapan dapat berguna sebagai “produk siap pakai” bagi Kejaksaan RI dan penegakan hukum di Republik ini.
Jakarta, 25 Februari 2005

Rahmat Bagja S.H.
Praktisi Hukum pada Widjojanto, Sonhadji & Associates
Pendiri Center for Law Information (www.theceli.com)

MEKANISME PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM

PENDAHULUAN

Indonesia telah memasuki babak baru dalam perjalanan ketatanegaraannya, hal ini dapat dilihat dari acara demokrasi terbesar yaitu Pemilihan Umum 2004. Dalam Pemilihan Umum 2004 ini dapat diperhatikan Indonesia memakai sistem campuran yaitu:
Sistem Proporsional Terbuka untuk calon anggota
Sistem distrik untuk daerah pemilihan(walaupun bukan sistem distrik murni)
Dalam era demokrasi sekarang ini, Pemilihan Umum 2004 di Indonesia merupakan suatu momentum besar untuk membuka pipa keterbukaan, yang mungkin selama ini tertutup. Sangat disayangkan jika momentum ini tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia.
Perlu diingat bahwa pada saat ini, Indonesia memasuki masa pra transisi demokrasi, dimana Indonesia menuju ke suatu negara demokrasi modern dan setelah negara modern maka merumuskan kembali kedaulatan menjadi suatu yang sangat penting. Menurut Harold J. Laski “ the modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance which need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control” .[1]
Pemilu 2004 harus menentukan siapa pemegang kedaulatan rakyat yang telah dipercaya oleh rakyat. Sehingga kedaulatan menjadi penentu ke masa depan negara Republik Indonesia. Dan penentu masa depan Indonesia terletak pada masyarakat yang peduli terhadap para pemimpinnya (Government from the people, by the people and for the people (Abraham Lincoln)). Menurut Jean Bodin dikenal sebagai bapak teori kedaulatan yang merumuskan kedaulatan,
“Suatu keharusan tertinggi dalam suatu negara, dimana kedaulatan dimiliki oleh negara dan merupakan ciri utama yang membedakan organisasi negara dari organisasi yang lain di dalamn negara. Karena kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh hukum dari pada penguasa atas warga negara dia dan orang-orang lain dalam wilayahnya” .[2]
Dalam menerapkan kedaulatan kedalam negara maka kedaulatan tersebut akan dipraktekkan dalam kekuasaan lembaga-lembaga negara yang mendapat mandat, Menurut Montesqieu kekuasaan didalam negara dibagi menjadi 3 kekuasaan yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif
2. Kekuasaan Eksekutif
3. Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan menjalankan fungsi pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengawasi dan menjaga penerapan peraturan perundang-perundangan yang ada. Sistem Negara seperti haruslah dilaksanakan dengan baik. Pemilu adalah caranya untuk menerapkan sistem Politik yang benar
Menurut Henry B Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory memberi definisi sebagai berikut “ Sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”.[3]
Pemilihan Umum adalah cara untuk menentukan siapakah yang akan menjalankan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, sehingga Pemilihan Umum adalah cara untuk menentukan bagaimana pelaksanaan kedaulatan rakyat dilaksanakan. Sangat diharapkan dengan perpindahan kekuasaan maka situasi dan kondisi negara akan bertambah baik, sehingga sistem demokratis dapat berjalan.
Di Pemilu 2004 inilah ditentukan kedaulatan rakyat yang akan dilaksanakan, karena Pemilu adalah suatu cara perpindahan kekuasaan yang demokratis dan tidak menimbulkan pertumpahan darah, atau disebut sebagai cara yang legal formal untuk mengganti kekuasaan negara.


1. Pemilihan Umum 2004

Pemilihan Umum 2004 juga mempunyai ketergantungan yang sangat besar dari peran penegak hukum di Indonesia, dengan Panwas Pemilu sebagai ujung tombaknya dan Polisi, Kejakasaan dan KPU sebagai lembaga yang memproses pelanggaran dan tindak pidana di Indonesia, juga para hakim dipengadilan yang harus mempertimbangkan secara adil pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Pemilihan Umum 2004 sangat berbeda dengan Pemilihan Umum 1999, dalam Pemilihan 2004 mekanisme pengaturan diatur dengan baik, hal ini dapat dilihat dari mekanisme pelanggaran dan tindak pidana yang muncul dari 2004. Dalam Pemilu 2004 peran KPU sangat penting, dimana KPU berfungsi sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. Sehingga KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pemilu, dan dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR.[4]
Peran pengawas dalam Pemilu 2004 mendapat kewenangan untuk menerima laporan dan meneruskan laporan ke lembaga yang terkait. Peran lembaga-lembaga tersebut tentu untuk menunjukkan kepada publik bahwa lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia masih bisa diharapkan dalam menuntaskan kasus-kasus yang ada dalam Pemilihan Umum. Dan hal ini telah dicermati dan dipahami dengan baik oleh Panitia Pengawas Pemilu, sehingga dibuat Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum, pada bulan Desember 2003, SK Panwas Pemilu No 03/PANWASLU/KS/XII/2003.
Dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran yang ada, maka perlu untuk melihat tahapan yang ada dalam Pemilu, sehingga memberikan pengetahuan bahwa Pemilu tidak hanya terdiri dari Kampanye dan orasi di lapangan terbuka ataupun arak-arakan di jalan.
Pemilihan Umum 2004 adalah Pemilihan Umum yang menerapkan sistem proporsional terbuka dan sistem distrik, dan juga sistem baru dalam Pemilihan Umum yang pernah dilalui oleh sejarah Pemilihan Umum di Indonesia, yaitu Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung merupakan sistem Pemilihan Umum terbaru yang ada di Indonesia, hal ini merupakan amanat dari Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, terutama pasal 6 A, yang berbunyi
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Undang-Undang yang menjelaskan tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003.

Tahapan Pemilu
Dalam Pemilu 2004, Pemilihan Umum terutama dalam kaitannya dengan memilih calon legislatif terbagi atas 9 tahapan ( Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan rangkaian dengan Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD.[5]), yaitu:
1. Pendaftaran Pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan;
2. Pendaftaran, penelitian, dan penetapan peserta Pemilu yang terdiri dari Partai Politik untuk Pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota; dan perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
3. Penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
4. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
5. Kampanye Pemilu;
6. Pemungutan dan penghitungan suara, yang terdiri atas: pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS dan TPSLN serta Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS, PPK, PPLN, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU;
7. Penetapan hasil-hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
8. Penetapan perolehan kursi dan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
9. Pengucapan janji/sumpah keanggotaan: DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.[6]

Lembaga Pengawas Pemilu
Dalam Undang-Undang No 12 tahun 2003, pasal 120 dinyatakan bahwa untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibetuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Dapat dipahami dengan jelas bahwa lembaga satu-satunya yang berhak melakukan pengawasan adalah Panitia Pengawas Pemilu baik dari segala tingkatan.
Pengawas Pemilu mempuyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu
2. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan Pemilu;
3. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu; dan
4. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut terutama dalam point 4, Pengawas Pemilu mempunyai keharusan untuk melakukan koordinasi dengan pihak terkait, terutama lembaga penegak hukum di Indonesia, yaitu Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Sehingga dalam meneruskan temuan dan laporan Pemilu bisa berjalan dengan cepat dan baik juga dibantu oleh lembaga penegak hukum di Indonesia. Dan hal ini telah dilakukan dengan membuat Surat
Mekanisme Pengawasan yang jelas dapat terlihat adalah:
Pengawas Pemilu menemukan temuan dan menerima laporan dari 3 pihak yaitu: 1. Masyarakat, 2. Pemantau, 3. Peserta Pemilu.
Mengkaji laporan dan temuan tersebut dan mengklasifikasikannya kedalam 3 yaitu: 1. Apakah termasuk pelanggaran administratif 2. Apakah termasuk dalam tindak pidana Pemilu 3. Apakah termasuk dalam sengketa
Setelah itu meneruskan laporan dan temuan tersebut jika termasuk dalam klasifikasi 1 dan 2. Jika termasuk dalam klasifikasi 1 ( pelanggaran administratif ) maka diteruskan laporannya ke Komisi Pemilihan Umum, dan jika termasuk dalam klasifikasi 2 ( tindak pidana Pemilu ) maka diteruskan ke Kepolisian RI.
Jika termasuk sengketa ( sengketa dapat diklasifikasikan jika laporan dan temuan yang didapat menyangkut dasar hukum yang tidak jelas dan pihak yang ada lebih dari satu) maka ditindaklanjuti dengan melakukan penyelesaian sengketa oleh Pengawas Pemilu.
Semua laporan dan temuan harus diselesaikan sebelum Pemilu usai. Karena telah disesuaikan waktu dan penyelesaiannnya yang harus dilakukan oleh Pengawas Pemilu.
Dalam melakukan mekanisme pengawasan tersebut maka Pengawas Pemilu dapat meminta keterangan dari berbagai pihak yang terkait dengan kasus Pemilu yang dikaji. Hal ini tercantum dalam pasal 122 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 “Guna menunjang pelaksanaan pengawasan Pemilu, penyelenggara Pemilu dan pihak terkait lainnya harus memberikan kemudahan kepada pengawas Pemilu untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Lembaga Pengawas Pemilu ini jika diteliti dari penjelasan diatas maka Panitia Pengawas Pemilu mempunyai fungsi untuk menerima laporan dan mencari temuan (informasi) yang berkaitan dengan pelanggaran Pemilu dan kemudian menindaklanjutinya kepada lembaga yang berwenang yaitu KPU dan Kepolisian RI, tapi ada satu kewenangan yang diberikan langsung kepada Panwas yaitu penyelesaian sengketa.

4. Mekanisme Pengawasan
Dalam melakukan kegiatannya dalam mengawasi Pemilu, maka Panwas Pemilu membagi kegiatan utamanya dalam 3 bidang, yaitu:
Pengawasan
Penerimaan dan tindak lanjut laporan
Penyelesaian sengketa.[7]
Dan tiga bidang tersebut mempunyai fungsinya masing-masing tapi saling terkait dalam menangani pelanggran yang ada dalam Pemilu 2004
4.1. Pengawasan
Bidang pengawasan adalah suatu bidang yang didasarkan atas kegiatan pengamatan, pengkajian, pemeriksaan, dan penilaian terhadap proses penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [8]
Pengawasan Pemilu dilakukan terhadap semua tahapan Pemilu. Pengawasan Pemilu akan dilakukan secara aktif dengan cara:
(1) Memilih satu atau beberapa tahapan
Memilih satu atau beberapa sasaran untuk difokuskan pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang mempunyai potensi besar terjadinya pelanggaran.
(2) Melakukan pengawasan acak
Pengawasan acak terhadap sasaran kegiatan/tahapan tertentu dan daerah pemilihan.
(3) Meminta informasi
Meminta informasi yang dibutuhkan dalam pengawasan Pemilu dan penyelenggara Pemilu kepada pihak yang terkait.
Jadi Panwas Pemilu mempunyai akses informasi sesuai dengan pasal 122 (3) UU No.12 tahun 2003, dan dalam keadaan khusus Panwas meminta bantuan Polisi untuk mendapatkan informasi ( dalam hal terjadi kegagalan untuk mendapatkan informasi. Pengawas Pemilu boleh melaporkan para pihak kepada Polisi untuk mengambil tindakan yang perlu sesuai dengan hukum.
Dalam Pengawasan Pemilu, pelanggaran Pemilu dapat berupa:
Tindak Pidana Pemilu
Pelanggaran Administratif
Tindakan yang sudah didefinisikan dalam undang-undang Pemilu sebagai mengandung unsur pidana dan diancam dengan hukuman berupa penjara dan/atau denda, adalah Tindak Pidana Pemilu. Sedangkan pelanggaran administratif adalah pelanggaran atas ketentuan dan persyaratan menurut undang-undang Pemilu.
Dalam pengawasan Pemilu temuan yang didapat oleh Panwas Pemilu selama pengawasan Pemilu dianggap sebagai bukti awal dari pelanggaran. Berikut ini adalah contoh-contohnya:
1. Surat suara palsu
2. Kaset rekaman
3. Keterangan saksi
4. Sobekan alat peraga kampanye, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan wewenangnya Panwas Pemilu untuk mengawasi Pemilu, maka ada batasan-batasan kewenangan dari Panwas Pemilu, hal yang diluar jangkauan wewenang Pengawas Pemilu:
1. Memberikan sanksi (kecuali sanksi administratif untuk Anggota dan staf Pengawas Pemilu berdasarkan Pasal 12 Keputusan Panwas Pemilu No 08 tahun 2003);
2. Menghentikan atau menunda kampanye (tidak seperti pada Pemilu 1999);
3. Menjadwal ulang atau memerintahkan Pemilu ulang ( tidak seperti pada Pemilu 1999);
4. Mengharuskan saksi-saksi, wartawan dan partai yang dilaporkan untuk menghadiri pertemuan dalam rangka memberi penjelasan (akan dijelaskan pada bagian berikut);
5. Melakukan penyelidikan yang mendalam, yang merupakan fungsi dari Kepolisian.
Sedangkan untuk melakukan kerjasama dalam Pengawasan Pemilu dalam rangka mendapatkan temuan dan laporan maka Panwas dapat bekerjasama dengan berbagai pihak dan/atau individu dalam menjalankan pengawasan, seperti misalnya:
· Lembaga Penegak Hukum
· Lembaga Pemantau Pemilu
· Asosiasi Profesional
· Lembaga Swadaya Masyarakat
· Organisasi Masyarakat atau massa
· Unit Pemerintah Daerah
· Peserta Pemilu
· Anggota masyarakat, dll.[9]
Dapat dikaji pada masa sekarang ini telah dijalin kerjasama dengan berbagai pemantau Pemilu dengan Panitia Pengawas Pemilu, dan kerjasama ini akan diwujudkan dalam Nota Kesepahaman Bersama (MoU) yang akan menjadi pedoman dan aturan main antara Panitia Pengawas Pemilu dan Pemantau Pemilu.
Panitia Pengawas Pemilu dibentuk dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat Kecamatan, hal ini akan sangat merepotkan ketika daerah yang diawasi sangat luas, dengan sumber daya manusia yang terbatas dan minimnya alat transportasi. Pemantau Pemilu sangat berperan untuk membantu Panitia Pengaws Pemilu dilapangan dalam hal mengawasi daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh Panitia Pengawas Pemilu.
Kerjasama dan diskusi dengan Asosiasi Profesional pun telah dilaksanakan, dengan meminta bantuan sebagai nara sumber, seperti IKADIN, IAI, dll. Dalam hal mengawasi keuangan partai politik Komisi Pemilihan Umum telah menjalin kerjasama dengan lembaga Akuntan untuk melihat laporan keuangan partai politik, sehingga dapat diawasi darimana saja dana yang didapatkan oleh partai politik, dan apakah laporan keuangan tersebut sudah memenuhi standar peraturan perundang-undangan apa belum.

4.2. Penerimaan dan Tindak Lanjut Laporan
Bagian Penerimaan dan Tindak Lanjut Laporan merupakan bagian dari Panwas Pemilu yang menerima laporan, kemudian membuat kajian laporan dan menilai laporan apakah perlu ditindaklanjuti atau tidak, hal itu kalau informasi bersifat laporan tapi kalau bersifat temuan maka bidang pengawasan akan meneliti lebih dalam dan mencari informasi kembali untuk menguatkan temuan tersebut, sehingga dapat dijadikan laporan.
Para pihak yang melapor sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing berdasarkan undang-undang adalah;
Satu atau beberapa warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih (Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin);
Pemantau Pemilu;
Peserta Pemilu
Dan laporan tersebut bisa disampaikan secara lisan/tertulis yang berisi:
Nama dan alamat pelapor
Waktu dan tempat kejadian perkara
Nama dan alamat pelanggar;
Nama dan alamat saksi-saksi
Uraian kejadian.[10]
Laporan disampaikan kepada Pengawas Pemilu sesuai dengan tingkatannya masing-masing.[11] Dan cara pelaporannya dengan tanpa membatasi cara pelaporan, media/sarana berikut ini dapat digunakan untuk melaporkan pelanggaran Pemilu :
Surat
E-mail
SMS
MMS
Faksimili
Telepon
Handy Talkie (HT); atau kunjungan pribadi ( secara lisan)[12]
Laporan harus diserahkan paling lambat 7 hari sejak terjadinya pelanggara (hari pertama dikecualikan dan hari terakhir dimasukkan. Karenanya, bila pelanggaran dilakukan pada 3 Januari 2004, hari terakhir untuk memasukkan laporan harus pada 10 Januari 2004. Sebuah laporan yang dimasukkan pada 11 Januari 2004 akan dianggap dilaporkan diluar batas waktu dan tidak akan diproses.
Dan kemudian laporan dikaji selama 7 hari, dan kemudian jika memerlukan klarifikasi bila keterangan tambahan dibutuhkan, dan proses ini diberi waktu 7 hari setelah pengkajian, klarifikasi ini bisa meminta pelapor/saksi/ terlapor untuk hadir dalam memberikan klarifikasi ini. Setelah itu barulah ada Keputusan untuk memproses atau tidak laporan tersebut dan pemberitahuan hasil.
Dalam mengevaluasi laporan/keberatan. Anggota Panwas Pemilu harus melakukan pencarian fakta awal secara aktif untuk menyaring laporan tersebut dengan cara:
1. Mengevaluasi laporan untuk kecukupan, kejelasan dan ketepatan informasi dan;
2. Meminta pelapor dan saksi-saksi untuyk datang dan memberikan penjelasan, bila diperlukan;
3. Memberikan kesempatan kepada terlapor atau partai yang dilaporkan untuk memberikan jawaban, dengan cara meminta mereka datang untuk memberikan penjelasan dan menyerahkan pernyataan mereka bila mereka menginginkannya.[13]
Mekanisme akhir dari laporan tergantung dari hasil dari tindak lanjut laporan, kalau laporan dianggap dianggap tidak perlu diteruskan maka akan ada pengumuman dari Panwas, jika laporan perlu ditindaklanjuti maka akan ada 2 jenis, yaitu yang mengandung unsur pidana dan laporan yang merupakan pelanggaran administratif. Jadi ada 2 jenis laporan yang harus ditindak lanjuti, yaitu:
1. Laporan yang mengandung undur pidana akan diteruskan kepada penyidik yaitu Kepolisian Republik Indonesia. Laporan tersebut diteruskan kepada penyidik selambat-lambatnya 3 hari setelah diputuskan.
2. Laporan yang merupakan pelanggaran administratif diteruskan kepada KPU sesuai dengan tingkatannya. Laporan tersebut diteruskan kepada KPU sesuai dengan tingkatannya selambat-lambatnya 3 (hari) setelah diputuskan.

4.3. Penyelesaian Sengketa
Bidang penyelesaian sengketa adalah bidang yang menyelesaikan sengketa antara 2 pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh karena adanya:
Perbedaan penafsiran antara para pihak; atau
Suatu ketidaksepakatan tertentu;
Dan kedua sebab tersebut berhubungan dengan fakta kegiatan dan peristiwa, hukum dan kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapatkan: penolakan, pengakuan yang berbeda serta penghindaran.
Ruang lingkup sengketa Pemilu yang dapat diselesaikan Pengawas Pemilu adalah setiap sengketa yang timbul dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dimulai dari tahap pendaftaran pemilih sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD dan DPRD Propinsi, Kota/Kabupaten. Kecuali sengketa tentang hasil Pemilu yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Pihak-pihak yang dapat terlibat dalam sengketa Pemilu adalah:
1. Penyelenggara Pemilu
2. Partai Pemilu peserta Pemilu, yaitu antara lain Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan Pimpinan tingkat Propinsi, Dewan Pimpinan tingkat Kabupaten/Kota, dst.
3. Peserta Pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
4. Anggota dan/atau pengurus partai politik peserta Pemilu
5. Warga negara yang memiliki hak pilih
6. Pemantau Pemilu[14]
Sengketa Pemilu diusahakan dapat didamaikan antara kedua belah pihak, penyelesaian alternatif suatu sengketa adalah proses-proses diluar pengadilan yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa, dengan cara:
1. memfasilitasi komunikasi, pengertian, keinginan dan kemampuan dari pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa oleh mereka sendiri. (contoh, mediasi)
2. Mengajukan alternatif atau rekomendasi
3. Keputusan ( contoh, arbitrasi).[15]
Proses penyelesaian sengketa Pemilu adalah sebagai berikut:
a. Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Pengawas Pemilu Penerima Laporan.
b. Penyerahan berkas laporan sengketa Pemilu oleh Pengawas Pemilu penerima laporan kepada Pengawas Pemilu yang berwenang.
c. Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa Pemilu oleh Pengawas Pemilu yang berwenang
d. Pemanggilan pihak yang bersengketa oleh Pengawas Pemilu yang berwenang
e. Apabila pertemuan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat tercapai maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Secara Musyawarah dan Mufakat
f. Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat maka Pengawas Pemilu yang berwenang menawarkan alternatif Penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa, dan apabila disetujui maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Alternatif Penyelesaian Pengawas Pemilu.
g. Apabila tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak maka Pengawas pemilu memberikan putusan final dan mengikat, yang dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Putusan Pengawas Pemilu.[16]
Jika diambil garis besar dari penjelasan diatas tentang Proses Penyelesaian Sengketa Pemilu, maka sengketa Pemilu dapat dibagi kedalam 3 tahap, yaitu:
1. Tahap pertama: penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah dan mufakat.
2. Tahap kedua: Penyelesaian sengketa melalui alternatif dari Pengawas Pemilu.
3. Tahap ketiga: Pengawas Pemilu mengeluarkan Keputusan Final dan Mengikat.[17]
Banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam proses musyawarah atau menyelesaikan sengketa, pertama pihak yang bersengketa harus didorong oleh kepentingan dan tujuan karena orang-orang harus mempunyai kepentingan atau alasan untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaian sengketa. Kedua adalah proses yang inklusif karena semua mempunyai kepentingan khusus tentang masalah-masalah ini harus terlibat dalam proses.
Ketiga adalah kesempatan untuk berpartisipasi dalam merancang proses karena walaupun rancangan proses telah dibuat, akan tetapi ada kesempatan bagi peserta untuk berpartisipasi dalam merancang beberapa aspek dari rancangan proses tersebut. Keempat adalah fleksibilitas proses dimana proses penyelesaian sengketa diusahakan fleksibel, tidak hanya memakai dasar normatif yang ada, akan tetapi bisa diambil berbagai pendekatan misalnya; pendekatan secara sosiologis dan pendekatan secara lebih filosofis.
Kelima dalam mencari pertimbangan dalam musyawarah adalah persamaan dalam kesempatan untuk berpartisipasi karena peserta harus mempunyai akses yang sama kepada informasi yang terkait dan kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif. Keenam menimbulkan pengertian dan rasa hormat terhadap kepentingan yang berbeda, karena penerimaan atas perbedaan dalam nilai, kepentingan dan pengetahuan tentang pihak-pihak yang terlibat sangat penting.
Ketujuh yang harus diperhatikan dalam musyawarah untuk menyelesaikan sengketa adalah proses tersebut dapat dipertanggungjawabkan, karena pertanggungjawaban terhadap kepentingan yang mereka wakili dan terhadap proses yang telah disetujui untuk dilakukan sangat penting. Kedelapan tentang pembatasan waktu karena tabel waktu yang realistis yang berpusat pada proses, memaksimumkan sumber daya akan membuat kemajuan.
Kesembilan yang harus dipertimbangkan adalah dalam komitmen kepada penerapan dan pemantauan sangatlah penting bagi suksesnya proses penyelesaian sengketa tersebut.

5. Kendala Dalam Proses Pengawasan Pemilu
Dalam Proses pengawasan Pemilu kendalan yang dihadapi sangatlah beragam hal ini dapat kita lihat dari pelbagai pemberitaan di media cetak maupun media elektronik pada saat ini. Kita dapat lihat permasalahan tersebut juga berpusat pada institusi lain yang mendukung proses pengawasan Pemilu
Jika diuraikan permasalahan tersebut dapat kita lihat:
1. Permasalahan dana
Jelas permasalahan ini adalah permasalahan yang sering timbul dari suatu lembaga. Seperti kita ketahui bahwa Panwas Pemilu anggaran dananya dimasukkan ke dalam APBN dan diambil dari KPU, sedangkan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota selain dari Pusat juga dibantu dari Pemerintah Daerah setempat. Dapat kita lihat turunnya dana bisa tersendat-sendat, dan akibatnya bisa dilihat dengan adanya kasus Panwas Pemilu Kecamatan yang berniat mengundurkan diri secara keseluruhan karena persoalan dana.
2. Permasalahan Sumber Daya Manusia.
Permasalahan Sumber Daya Manusia juga merupakan hal yang mendasar, karena dibutuhkan orang-orang yang terampil dan memahami karakteristik laporan pelanggaran, sehingga para anggota Panwas Pemilu bisa bekerja secara optimal dengan dibantu oleh para stafnya yang mengerti akan permasalahan Pemilu.
3. Permasalahan Perbedaan Penafsiran
Perbedaan penafsiran dalam mendalami Undang-Undang Pemilu yang berbeda antara Komisi Pemilihan Umum dengan Panwas Pemilu, sehingga kemungkinan terjadi benturan antara KPU dengan Panwas Pemilu.
4. Karakteristik dan kondisi geografis masyarakat Indonesia.
Dalam mengawasi Pemilu perlu juga dilihat karakterisktik dari masyarakat Indonesia, karena setiap daerah masyarakatnya berbeda, sehingga ada masyarakat yang lebih berani menyampaikan laporan dan ada masyarakat yang mungkin segan untuk menyampaikan laporan. Hal ini perlu disikapi mungkin dengan aktifnya panwas mencari laporan dan temuan dalam masyarakat yang mungkin segan dalam menyampaikan laporan. Kondisi geografis Indonesia sangat unik, ada pegunungan, lembah, pertanian, dll. Sehingga faktor ini sangat juga bergantung dari ketersediaan sumber daya manusia yang cukup untuk bisa melakukan Pengawasan Pemilu sampai ke pelosok daerah.
5. Tingkat Pendidikan Pemilih dan Kesadaran Masyarakat
Hal inilah yang sekiranya perlu dibangun oleh Penyelenggara Pemilu dan Pengawas Pemilu (Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu) untuk melihat realita kondisi masyarakat dimana tingkat pendidikan pemilih yang menurut penulis bisa untuk menilai baik dan buruk, hanya mungkin tata cara/proses untuk memilih, perlu diberikan pendidikan tentang hak dan kewajiban mereka sebagai pemilih, mana yang boleh atau tidak untuk dilaksanakan dalam tahapan Pemilihan Umum. Terutama dengan tahapan kampanye. Perlu juga dibangun kesadaran masyarakat untuk memilih partai politik dan wakil rakyat yang bersih, mempunyai kapasitas moral dan intelektual yang baik.




KESIMPULAN DAN SARAN

Pemilu 2004 sebagai tonggak bersejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Pemilu 2004 hendaknya dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia dengan baik. Memilih wakil rakyat yang secara kualitas bagus, baik dari segi moral dan intelektual. Dalam Pemilihan Umum 2004 secara peraturan perundang-undangan baik, karena dalam Undang-Undang Pemilu diterangkan secara jelas tugas dan wewenang Pengawas Pemilu, dan dijelaskan bagaimana prinsip-prinsip dan mekanisme dasar pengawasan Pemilu.
Selain faktor perundang-undangan yang jelas maka setidaknya ada empat faktor lain yang akan menentukan sukses tidaknya pengawas Pemilu dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Pertama, pengawas Pemilu haruslah badan independen dan nonpartisan yang di dalamnya diisi oleh orang-orang yang punya integritas dan dedikasi tinggi. Kedua, jajaran pengawas Pemilu perlu memiliki kapasitas yang cukup dalam memahami dan menangani masalah-masalah pelanggaran pelanggaran Pemilu. Ketiga, pengawas Pemilu memperoleh fasilitas yang memadai dalam menjalankan tugas-tugasnya. Keempat, pengawas Pemilu mendapat dukungan dari instansi penegak hukum terkait dan dukungan masyarakat luas.[18]
Pemilu 2004 dari sudut mekanisme pengawasan jauh lebih baik daripada Pemilu 1999. Pelanggaran-pelanggaran dalam Pemilu 2004 sudah dibagi kedalam tiga bagian: 1. Tindak Pidana Pemilu
2. Pelanggaran Administrasi
3. Sengketa.
Ketiga klasifikasi pelanggaran tersebutpun telah jelas bagaimana penanganannya dengan proses penanganan dan tindak lanjut dari pelanggaran dimana jika terjadi tindak pidana Pemilu maka akan ditindaklanjuti ke Kepolisian RI sesuai dengan tingkatan terjadinya perkara, pelanggaran administrasi ditindaklanjuti dengan meneruskannya ke Komisi Pemilihan Umum, dan jika terjadi sengketa Pemilu maka Panitia Pengawas Pemilu akan meninlajutinya dengan proses musyawarah dan mufakat.
Mungkin agak sulit jika yang melakukan pelanggaran administrasi adalah Komisi Pemilihan Umum. Kalau pelanggaran tindak pidana Pemilu tidak akan jadi masalah karena lembaga yang memprosesnya adalah POLRI. Tetapi dalam pelanggaran administrasi Pemilu jika yang melanggarnya adalah lembaga yang seharusnya menyelesaikannya, maka hal tersebut akan menjadi permasalahan. Menjadi pertanyaan penting, apakah Panitia Pengawas Pemilu bisa menindaklanjuti hal ini? Tentu hal ini akan menjadi pembahasan yang menarik, dan menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.
Dalam menentukan Dalam Pemilihan Umum 2004 secara terbuka dapat kita lihat dengan jelas, kualitas wakil-wakil rakyat kita yang duduk dalam lembaga-lembaga legislatif, dengan mekanisme pencalonan dan verifikasi calon yang baik. Wakil rakyat ini juga dinilai dari karakter-karakter yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin tepat apabila Pemilu 2004 berjalan sukses (sukses disini dimaksud jika rakyat sadar akan hak mereka untuk memilih dan tahu bagaimana mereka melaksanakan hak pilihnya dengan memilih wakil rakyat yang baik, jujur dan dekat dengan masyarakat), maka Indonesia menuju ke masa depan yang cerah, masa depan yang diimpikan oleh seluruh Rakyat Indonesia.
Ketika warga Negara Indonesia sadar akan pilihannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dengan memperhatikan karakter –karakter terbaik dari calon wakil-wakil rakyat
[1] Harold J Laski, A Grammar Of Politics, h. 44
[2] Teuku Amir Hamzah, dkk, Ilmu Negara, hal. 153
[3] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1999, h. 61
[4] UU No 12 tahun 2003, pasal 15
[5] UU No.23 tahun 2004, pasal 3 (3)
[6] UU No 12 tahun 2003 pasal 1 ayat 14 dan SK Panwas Pemilu No 12 tahun 2003
[7] Pasal 23 Keputusan Panwas Pemilu No 08 tahun 2003
[8] Panwas Pemilu, Buku Saku Pedoman Operasional Pengawas Pemilu 2004, Jakarta 2004
[9] Paragraf 8, Mekanisme Pengawasan, Keputusan Panwas Pemilu No 12 tahun 2003.
[10] Pasal 4 ayat 2 SK Panwas Pemilu No 09 tahun 2003
[11] Pasal 1 (8) Keputusan Panwas Pemilu No 09 Tahun 2003. Lihat juga pasal 3 Keputusan Panwas Pemilu No.09 tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaporan jo Keputusan Panwas Pemilu No 08 tahun 2003 dan Keputusan KPU 88 tahun 2003.
[12] Pasal 14(2) Keputusan Panwas Pemilu No 08 tahun 2003
[13] Buku Saku Pedoman Operasional Pengawas Pemilu 2004, Panitia Pengawas Pemilu 2004, Jakarta, h.31
[14] Kumpulan Peraturan Pengawasan Pemilu 2004, Panitia Pengawas Pemilu, Jakarta, 2003, h.100
[15] Buku Saku Pedoman Operasional Pengawas Pemilu 2004, Op.cit, h. 47
[16] Kumpulan Peraturan Pengawas Pemilu 2004, h,103
[17] Buku Saku Pedoman Operasional Pengawas Pemilu 2004, Op.Cit. h. 48
[18] Komarudin Hidayat, Kata Pengantar dalam buku Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. VII

ANALISA KASUS BULOGGATE II DITINJAU DARI FUNGSI DAN PERAN HUKUM BIROKRASI NEGARA

Latar Belakang
Permasalahan yang sering timbul dalam birokrasi negara adalah permasalahan tidak bisa membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan negara atau jabatan sehingga banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dari seorang pejabat publik.
Dalam pada itu, kita sekarang juga sedang menyaksikan kontroversi yang cukup hangat, yakni tentang pembentukan Pansus Buloggate II yang melibatkan Akbar Tandjung dalam dugaan penyalahgunaan uang negara Rp 40 miliar, di mana Akbar Tandjung sendiri telah menjadi tersangka. melihat sejak semula bahwa ujung dari proses politik di DPR, termasuk pembentukan Pansus Buloggate II, apabila mengenai kasus hukum, maka memang proses hukum yang transparan terhadap kasus itulah yang menjadi tujuan utamanya.
Sesungguhnya tidak benar anggapan bahwa kalau jika Pansus Buloggate II dibentuk, maka kemudian terjadi proses politisasi dari kasus hukum tersebut. Untuk mengambil sikap yang konsisten, maka prinsip dasar yang harus diambil adalah ujung dari Pansus Buloggate II adalah membawa kasus itu kepada proses pengadilan yang benar, transparan, dan tidak tertunda-tunda lantaran berbagai perhitungan nonhukum.
Dijadikannya Akbar Tandjung sebagai tersangka oleh Jaksa Agung, maka cukup jelas bahwa proses hukum telah berjalan dan harus kita beri kesempatan yang cukup fair agar proses hukum ini bisa melaju seperti yang kita inginkan. Sementara itu, desakan masyarakat untuk melihat penyelesaian kasus Buloggate II ini juga harus kita perhatikan secara sungguh-sungguh. Namun dalam kaitan ini, ada juga argumen yang perlu, Kembali pada masalah Pansus Buloggate II, yang penting adalah kita berikan kesempatan yang fair buat Kejaksaan Agung untuk memroses kasus Akbar ini dengan transparan dan tanpa ragu-ragu, dengan catatan pembentukan Pansus Buloggate II bisa diperlambat sambil menanti keberanian Kejagung untuk memroses kasus ini secara benar.[1]
Perlu juga ditambahkan bahwa ada tugas-tugas DPR yang cukup banyak dan berat yang harus diselesaikan, yaitu menyangkut legislasi berbagai masalah nasional terutama juga undang-undang pemilu yang baru nanti, yang tentu akan memakan waktu, dan juga usaha-usaha para wakil rakyat untuk melakukan langkah-langkah korektif terhadap pemerintah terutama mengenai hal-hal yang lebih besar lagi. Kita bisa memahami apabila Pansus Buloggate II pada prinsipnya harus dibentuk, manakala proses hukum menjadi tersendat-sendat. [2]

Dalam makalah ini akan di analisa bagaimana kasus bulog ditinjau dari segi hukum Birokrasi Negara yang melibatkan beberapa pejabat publik di Negara Republik Indonesia yaitu: Ir. Akbar Tanjung pada saat itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara dan Kepala Badan Urusan aLogistik yaitu, Ir. Rahardi Ramelan dan terjadi pada saat pemerintahan Presiden Prof.Dr. Habibie.
Dalam kasus ini terjadi banyak kejanggalan-kejanggalan birokrasi, bagaimana bisa dana anggaran untuk Badan Urusan Logistik sebesar 40 milyar dengan begitu mudahnya mengalir dari Badan Urusan Logistik ke Menteri Sekretasi Negara dan dengan begitu mudah turun ke Yayasan Raudlatul Jannah yang sama sekali tidak dikenal dan ada kemungkinan fiktif. Hal ini sangat tidak jelas dalam hal transparansi dan penggunaan wewenang dalam pejabat negara.

b. Pokok Permasalahan
Pokok permaslahan yang ada akan dibahas didalam makalah ini adalah:
“ Bagaiamana kasus Buloggate II ditinjau dari fungsi dan peran Hukum Birokrasi Negara?”

c. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :
1. Memberikan suatu analisa ditinjau dari segi Hukum Birokrasi Negara mengenai Kasus Buloggate II.
2. Memberikan informasi dan solusi atas kasus Buloggate II ditinjau dati segi Hukum Birokrasi Negara.
















ANALISA KASUS BULOGGATE II DITINJAU DARI FUNGSI DAN PERAN HUKUM BIROKRASI NEGARA

A.Posisi kasus

Pada saat bulan-bulan terakhir ini masyarakat disedot perhatiannya oleh usaha pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN yang dilakukan pemerintah. Paling tidak di atas kertas, atau secara lahiriah, sepertinya pemerintah sedikit mulai berani menegakkan supremasi hukum dalam rangka terutama menanggulangi penyakit kronis bangsa yang berupa korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai misal, Syahril Sabirin tersangka dalam kasus Bank Bali yang kemudian menjadi terdakwa, akhirnya sudah menjadi terpidana dengan memperoleh 3,5 hukuman penjara. Mereka yang jadi tersangka dalam perkara Buloggate II juga telah ditahan, termasuk Akbar Tandjung yang kebetulan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR RI. Malah secara beruntun masyarakat juga disuguhi beberapa berita yang menarik, sejak dari Beddu Amang yang telah menjadi terdakwa sampai Bustanil Arifin, Tanri Abeng, Soebiyakto Tjakrawerdaya, dan Hasjim Djoyohadikusumo, di mana yang terakhir ini bukan saja menjadi tersangka, melainkan telah ditahan di Rutan Salemba.
Sampai saat ini belum terselesaikannya kasus ini mkungkin disebabkan oleh jabatan para pihak yang bermaslah sehingga menimbulkan conflict of interest dari pemerintah karena walau bagaimanapun Kejaksaan Agung dan pihak kepolisian adalah berada dibawah pemerintah sehingga sangat sulit untuk membedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan hukum.[3]
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam negara manapun semuanya mengakui adanya suatu asas persamaan didepan hukum atau Equality Before The Law, seperti asas hukum Rule Of Law yang dipakai dalam negara Anglo Saxon bahwa Rule Of law melingkupi:
1. Supremacy Of Law
2. Equality before the law
3. Constitrution based on human rights.[4]
Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi pedoman bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Dan hal ini sebenarnya telah tercantum dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 tepatnya pasal 27. yang berbunyi
1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Sehingga jelas dalam negara republik Indonesia tidak ada perbedaan dalam perlakuan hukum bagi seluruh warga negara.
Dalam kasus ini telah terjadi pengaliran dana untuk bantuan korban bencana alam di Indonesia yang dialirkan dari pemerintah melalui rapat kabinet dan diputuskan memakai dana non budgeter bulog ( badan urusan logistik ) yang dikepalai oleh Rahardi Ramelan dan disalaurkan ke Menteri Sekretaris Negara, dan dari menteri Sekretaris Negara disalurkan kepada Yayasan Raudlatul Jannah yang hal ini melibatkan Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, dan Winfried adalah salah satu kader Golkar.[5]
Yang menjadi permasalahan adalah pengaliran dana dari Rapat Kabinet dan penyaluran dana dari Yayasan Raudlatul Jannah.

b. Tinjauan dari segi Hukum Birokrasi Negara
Birokrasi sebagi suatu sistem kerja dimaksudkan sebagi sistem kerja yang berdasarkan atas tata hubungan kerjasama antara jabatn-jabatan secara zakelijk langsung mengenai persoalan atau halnya, formil/tepat menurut prosedur dan peraturan-peraturan yang berlaku dan jiwa impersonal/tidak ada sentimen, tanpa emosi atau pilih kasih tanpa pamrih atau prasangka-prasangka.[6]
Dalam Hukum Birokrasi Negara khususnya dalam manajemen terpadu yang kita ketahui bahwa proses ini meliputi
1. Planning
2. Organization
3. coordination
4. Motivating
5. Controlling
Yang didalamnya terdapat unsur pendanaan dan aliran dana termasuk kedalam Planning dan organization.
Dalam unsur planning ada unsur budgeting didalamnya dan dalam organization bagaimana delegasi kewenangan tanggung jawab dan pembakuan hubungan kerja juga identifikasi pekerjaan.
Unsur dalam kasus ini adalah terdapat dalam masalah budgeting yang merupakan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kasus ini dana yang seharusnya dialokasikan untuk masalah penanganan pangan disalurkan melalui Menteri Sekretaris Negara dan dana ini adalah dana Badan Urusan Logistik. Dana ini memang tidak ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sehingga perlu diteliti dari manakah asal dana ini.
Dan terlepas dari itu hal yang terpenting dari sudut delegasi dan kewenangan dan tanggungjawab hal ini agaknya menjadi titik tolak permasalahan, seharusnya delegasi kewenangan dan tanggung jawab merupakan suatu proses yang mencari orang-orang yang tepat untuk diberikan tanggung jawab dan kewenangan yang disesuaikan dengan bobot unitnya ( setelah dibentuk diatas).
Apakah penunjukan Menteri Sekretaris Negara sebagai penyalur dana ke daerah tempat bencana adalah hal yang tepat dan seharusnya Menteri Sekretaris negara berkonsultasi dengan menteri sosial pada saat itu dan harus melalui perbendaharaan negara atau melalui menteri keuangan. Jika hal ini mendapat perhatian yang baik dalam menentukan alur pengaliran uang sehinggamengikuti prosedur yang biasa dilaksanakan.
Kemudian yang memberatkan adalah ketika dana disalurkan ke Yayasan Raudatul Jannah yang sama sekali tidak terkenal, apakah hal ini disengaja untuk menghindari transparansi pengaliran dana, jika dana tersalurkan secara transparan maka pertanggungjawaban akan dana tidak menjadi suatu permasalahan.

c. Ditinjau dari patologi birokrasi.
Jika ditinjau dari sudut Hukum biorokrasi negara maka patologi birokrasi dapat dikategorikan dalam lima kelompok, sebagi berikut.
1. patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi.
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagi kegiatan operasional.
3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undanagn yang berlaku.
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.
Jika dikaitkan dalam kasus Bulog yang melibatkan Mensesneg maka hal ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan jabatan dan hal ini dikarenakan perilaku yang kurang baik dari para pejabat negara.
Hal ini bisa disebabkan karena berbagai hal, seperti
1. Kecendrungan mempertahankan status quo /ketakutan pada perubahan
2. Pertentangan kepentingan
3. Menerima suap atau sogok.
Masalah bulog harus ditinjau dari pengaliran dana yang ada dalam kasus ini. Sehingga kasus ini dapat ditinjau secara jelas, akan tetapi karena masih dalam taraf proses persidangan maka akan semakin tidak jelas jika dibahas dalam aliran dana.
Akan tetapi jika dana tersebut digunakan untuk kepentingan partai seperti banyak dilansir media massa maka hal ini akan menjadi suatu kasus penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power) dan bisa dikategorikan dalam kasus korupsi.








ANALISA

Kasus bulog menambah kelam sejarah Birokrasi Negara Republik Indonesia yang memang tidak baik. Perlu difikirkan kembali bagaimana mengatasi hal-hal seperti ini sehingga tidak terjadi lagi kesalahan birokrasi negara seperti ini, dan yang perlu dipikirkan kembali adalah bagaimana menata kembali Hukum Birokrasi Negara kita.
Kasus ini merupakan kasus dalam pengertian administrasi sebagai suatu proses tata kerja penyelenggaraan atau dengan perkataan lain sebagai suatu proses teknis.
Didalam rangka penegertian administrasi sebagai suatu proses teknis terdapat tata usaha. Tata usaha adalah esensi daripada pekerjaan kantor dan sebagai fungsi atau aktivitas, dan tata usaha berarti pengolahan, perhitungan dan penarikan sari serta penyusunan ikhtisar tentang pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh administrasi. Ini dalamnya termasuk pengerjaan, pencatatan, penyimpanan secara sistematis serta pertanggungjawaban daripada surat-surat,dokumen-dokumen,uang-uang, bahan-bahan material,dan alat-alat perlengkapan yang dipergunakan sehari-hari.[7]
Hal-hal yang menyebabkan kasus ini terjadi adalah yang pasti karena alasan penyaluran dana diatas terjadi atas ketidakberdayaan administrasi negara, dan hal ini akan mengakibatkan ketidakjelasn pencatatan dan mengakibatkan ketidakjelasan pertanggungjawaban.
Jika dan ini akan digunakan dalam pendanaan partai maka bukan tidak mungkin para pejabat negara kita tidak bisa membedakan apa yang didefinisikan sebagai kepentingan negara dan apa yang disebut sebagai kepentingan partai. Sehingga alangkah baiknya adanya pemisahan yang jelas antara jabatan partai dan jabatan negara, hal ini bisa diterapkan jika tidak bisa dilakukan contoh yang baik dari pejabat negara.
Kasus Bulog terjadi disebabkan ketidakmampuan manajemen seorang Menteri Sekretaris Negara dalam mengolah dan menyampaikan amanah dari Sidang Kabinet sehingga perlu dicari jalan untuk menyelamatkan sang menteri, Kepala Bulog dan yang mendapat kucuran dana dari dana bulog.






KESIMPULAN DAN SARAN

Kasus bulog ini perlu diselesaikan secara baik, baik dari segi politik dan segi hukum. Tetapi akan lebih baik jika diselesaikan melalui proses hukum. Karena proses hukum akan menyelesaikan proses yang lain secara keseluruhan. Jika hal ini ddiselesaikan secara politik maka akan sulit untuk mencari jalan keluar dari kasus ini, karena secara dasar hukum hal tersebut tidak kuat dan tidak dapat menyelesaikan secara baik.
Penyelesaian masalah melalui proses hukum seharusnya tidak boleh dicampuri oleh proses politik, karena secara prinsip semua warga negara dihadapan hukum adalah sama, jika kita melanggar prinsip ini maka kita akan kembali kesejarah lama dalam pemerintahan yang tiran.
Prinsip Hukum administrasi telah dilanggar dalam masalah ini sehingga jelas akan menimbulkan kesalahan juga dalam maslah Hukum Birokrasi Negara. Kasus ini telah merusak tata cara birokrasi tentang pengaliran dana, sehingga dana yang begitu besar tidak ada pertanggungjawabannya sehingga mengakibatkan keresahan masyarakat sehingga hal ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah yang berkuasa dengan menghilangkan intervensi politik dalam bentuk apapun.
Kepemimpinan negara dalam masalah bulog kembali dipertanyakan kekuatannya dan sistemnya, karena dengan begitu mudahnya uang 40 milyar keluar dari Badan Urusan Logistik. Sehingga perlu diperbaiki sitem Kepemimpinan dan manajerial negarayang baik oleh para pejabat negara.

c.Saran-saran

1. Adanya perbaikan Sistem Administrasi Negara dengan adanya pencatatan dan transparansi dalam mengolah dana negara khususnya dalam kasus ini adalah dana non budgeter BULOG.
2. Adanya perbaikan manajemen negara, karena seperti kita ketahui manajemen adalah proses yang menggerakkan dan mengarahkan tindakan aktivitas dan fasilitas dalam usaha kerjasama agar tujuan yang telah ditentukan benar-benar tercapai.
3. Adanya pelaksanaan proses hukum tanpa intervensi dalam kepentingan apapun dalam kasus BULOG yang melibatkan pejabat negara dan mantan pejabat negara.




DAFTAR PUSTAKA

Atmosudirjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
Siagian, Sondang, Proses Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi, Ghalia Indonesiam, Jakarta, 1994
Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
Fatimah, Siti, Hayati, Tri, Hukum Birokrasi Negara, FHUI, Depok, 2000
Robinson, Dave, Garrat, Chris, Mengenal Etika For Beginners, Mizan, Jakarta, 1997
Noer, Deliar, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Jakarta, 1996
http://kompas.com/berita-terbaru/0112/06/headline/024.htm
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=73809&kat_id=23
www.detik.com

[1] Amin Rais, www. Detik.com, tabloid adil
[2] Amin Rais, www. Detik.com, tabloid adil
[3] www. Republika.co.id
[4] Miriam Budiarjo, Dasar dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1999
[5] www.kompas.com
[6] Siti Fatimah, Tri Hayati, Hukum Birokrasi Negara, FHUI, Depok, 2000

[7] Prof. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981